Jejak Sejarah dan Peninggalan Tambang Batubara Pertama Indonesia di Kota Sawahlunto
Kota Sawahlunto merupakan sebuah kota administratif yang berada di Provinsi Sumatera Barat. Nama Sawahlunto sendiri diambil dari kondisi geografis wilayah tersebut, dimana terdapatnya sawah di sebuah lembah yang dialiri oleh Batang Lunto (Sungai Lunto). Kota ini mempunyai sejarah panjang dalam perjalanannya. Sawahlunto sendiri dulunya hanya sebuah wilayah yang berada di pedalaman Sumatera Barat. Wilayah yang dahulu nya tidak ada apa-apa nya. Sampai pada suatu ketika para ilmuwan geolog asal Belanda yang melakukan penelitian di pedalaman Sumatera Barat. Pada tahun 1868, seorang peneliti geolog asal Belanda, Willem Hendrik de Greve, berhasil menemukan kandungan batubara yang berada di Sawahlunto dan sekitaran sungai batang ombilin yang melalui wilayah tersebut. Sejak itulah dimulainya penambangan batubara sekaligus pembangunan sarana dan prasarana berupa kantor, pemukiman, gudang, dan sebagainya. Penambangan batubara di Sawahlunto tersebut menjadikan wilayah ini menjadi lokasi pertambangan batubara pertama di Indonesia yang menjadikan Kota Sawahlunto berkembang cepat saat itu.
Sejarah Penemuan Batubara
a.
Awal
penemuan
Batubara menjadi bahan baku penting pada masa itu. Batubara dapat dijadikan sebagai sumber bahan bakar yang berguna untuk menunjang berbagai kegiatan perekonomian. Sejak ditemukan pertama kali di tahun 1868, penelitian akan kandungan batu bara tersebut dilakukan kembali oleh Willem Hendrik de Greve. Penelitian tersebut terhenti pada tahun 1872 dikarenakan sang peneliti tersebut tewas di sungai indragiri ketika sedang melakukan penelitian. Sesudah peristiwa tersebut, penelitian kandungan batubara di Sawahlunto tersebut dilanjutkan oleh Jacobus Leonardus Cluysenaer dan Daniel David Veth pada tahun 1874. Laporan akan pengelolaan tambang batubara tersebut kemudian selesai dan dilaporkan kepada pemerintah Hindia-Belanda di tahun 1875 dan tahun 1878. Setelah mengetahui sumber daya alam serta potensi nya untuk perekonomian maka pemerintah Hindia Belanda memulai proses eksplorasi batubara. Sejalan dengan dimulainya proses eksplorasi tersebut, infrastruktur pendukung dibangun guna menunjang kegiatan penambangan. Pembangunan infrastruktur dimulai dari tahun 1883 hingga 1894.
b.
Masa
kejayaan
Batubara Sawahlunto mulai diproduksi di
tahun 1882. Dengan dimulainya proses produksi, kota ini kemudian menjadi kota
yang dihuni banyak pekerja tambang. Dengan terus bertambahnya pekerja tambang
yang dibutuhkan maka kawasan ini seakan berubah menjadi sebuah kota kecil yang
diikuti pembangunan gedung perkantoran dan rumah-rumah para pekerja tambang,
hingga pembangunan jalur kereta api guna mengangkut batubara. Pada akhir nya di
tanggal 1 Desember 1888 wilayah Sawahlunto ini ditetapkan menjadi sebuah kota
yang sampai saat ini dijadikan sebagai hari jadinya Kota Sawahlunto.
Semenjak penambangan di buka, proses produksi batubara Sawahlunto setiap harinya semakin meningkat apalagi dengan dibukanya jalur kereta api. Ratusan ribu ton batubara dapat dihasilkan per tahunnya. Tercatat puncak dari kejayaan tambang batubara Sawahlunto terjadi pada tahun 1920 hingga tahun 1921. Di balik kejayaan penambangan batubara tersebut, banyak dari pekerjanya yang merupakan narapidana yang didatangkan dari luar daerah dan dibayar dengan upah murah. Salah satu sisi kelam dari eksplorasi batubara tersebut disebut dengan istilah “orang rantai”.
c.
Akhir
kejayaan
Setelah kemerdekaan Indonesia, pengelolaan batubara Sawahlunto diambil alih oleh pemerintah Republik Indonesia yang mana sebelumnya dikelola oleh pemerintahan Hindia-Belanda. Sebagai sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, batubara yang ditambang secara terus-menerus tentunya akan membuat cadangan batubara itu sendiri menipis, sehingga produksi batu bara dari tahun ke tahun tidak setinggi produksi di masa-masa era kejayaannya.
Peninggalan masa kejayaan batubara Sawahlunto
a.
Lubang
mbah soero
Lubang Mbah Soero merupakan saksi bisu
dimana terjadinya penambangan batubara besar-besaran ketika itu. Pemerintah
kolonial Hindia-Belanda pada saat itu mendatangkan ribuan pekerja tambang yang
dipekerjakan untuk menggali batubara yang terdapat di perut bumi Sawahlunto
tersebut. Lubang tambang batubara tersebut sangatlah panjang hingga saat ini
belum diketahui secara pasti berapa panjang lubang tambang batubara Sawahlunto
tersebut. Dalam perjalanannya, para pekerja tambang batubara ini dipekerjakan
secara paksa oleh Belanda bahkan sampai tidak dikasih makan dan tidak sedikit
pekerja yang meninggal ketika itu. Pada suatu ketika Belanda mendatangkan
seorang mandor dari pulau jawa yang bernama Mbah Soero. Pada saat ini lubang
tambang tersebut telah dijadikan sebagai museum dengan nama Museum Lubang Tambang
Mbah Soero. Di museum tersebut terdapat gambaran sejarah tambang batubara
lengkap dengan cerita yang cukup menyedihkan para pekerja tambang di masa itu
yang dikenal dengan orang rantai atau manusia rantai.
b.
Kantor
PT. Bukit Asam
Pada pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, pusat pertambangan batubara berkantor di sebuah bangunan yang bercorak khas Belanda yang bernama Hoofdkantoor van de Steenkolenmijn Ombilin. Bangunan ini menjadi saksi dari proses perkembangan batubara di Sawahlunto. Segala pusat komando berada di kantor tersebut. Setelah kemerdekaan Indonesia, bangunan tersebut dijadikan kantor PT. Bukit Asam yang kemudian mengelola batubara selanjutnya hingga saat ini. Bagunan kantor yang ikonik tersebut dibangun tahun 1916 yang saat ini menjadi ikon dari Kota Sawahlunto.
c.
Gudang
ransoem
Gudang ransoem merupakan bangunan yang
tidak bisa dipisahkan dari perjalanan panjang dari penambangan batubara di
Sawahlunto. Tempat ini disebut juga sebagai dapur umum yang nantinya
menyediakan makanan bagi seluruh pekerja tambang batubara. Selain untuk pekerja
tambang, gudang ransoem juga memasok makanan untuk pasien yang dirawat di rumah
sakit. Pada saat ini, bangunan gudang ransoem telah dijadikan sebagai museum.
Disana dapat dijumpai sejarah-sejarah aktivitas yang terjadi di gudang ransoem
di masa itu. Bangunan tersebut dibangun di tahun 1918 dan bercirikan bangunan
khas kolonial Belanda.
d.
Silo
Silo sendiri merupakan tempat
pengumpulan batubara yang telah selesai ditambang. Setelah batubara dikeluarkan
dari dalam tanah maka dikumpulkan terlebih dahulu di silo ini. Silo yang
berhubungan dengan batubara tersebut berada di dua tempat berbeda. Pertama,
silo yang berada di Sawah Lunto. Bangunan silo ini terdiri tiga tong besar yang
menjulang tinggi. Tiga tong tersebut berfungsi untuk mengumpulkan batubara yang
berasal dari lubang tambang, kemudian dari tong ini batubara tersebut
disalurkan ke pabrik melalui jembatan kecil yang membentang dari tong ke
pabrik. Dari pabrik inilah batubara tersebut dimuat ke dalam gerbong-gerbong
kereta api yang kemudian diangkut menuju Pelabuhan Teluk Bayur di Kota Padang.
Selanjutnya di Pelabuhan Teluk Bayur juga terdapat silo yang dinamakan dengan
Silo Gunung. Seluruh batubara ditampung disini sebelum akhirnya dibawa oleh
kapal-kapal ke berbagai wilayah.
e.
Jalur
Kereta Api
Jalur kereta api menjadi urat nadi dari
proses penambangan batubara di Sawahlunto. Jalur kereta api yang membentang
dari Sawahlunto hingga ke Pelabuhan Teluk Bayur merupakan sebuah sarana
pengangkutan batubara ombilin yang paling penting ketika itu. Produksi batubara
kian meningkat dan memuaskan ketika itu. Akibat produksi batubara yang semakin
berkurang membuat jalur perkeretaapian tersebut tidak berjalan lagi. Saat ini
sisa-sisa jalur tersebut masih dapat dilihat. Beberapa stasiun yang terkenal
seperti stasiun Sawahlunto, Stasiun Solok, dan Stasiun Padang Panjang sudah
menjadi bangunan tua, hanya stasiun Sawahlunto yang saat ini dijadikan Museum
Kereta Api sebagai saksi bisu kejayaan perkeretaapian batubara yang berada di
pedalaman Sumatera Barat ketika itu.
Sejarah panjang pertambangan batubara di Kota Sawahlunto menjadikan kawasan ini sebagai sebuah situs warisan dunia yang ditetapkan oleh UNESCO pada tahun 2019. Situs warisan budaya tersebut tidak hanya berada di Kota Sawahlunto namun juga jalur kereta api yang membawa batubara dari Sawahlunto ke Silo Gunung yang berada Pelabuhan Teluk Bayur, Kota Padang. Tambang batubara di Sawahlunto ini disebut juga dengan tambang batubara ombilin. Meskipun tidak memproduksi batubara seperti masa kejayaannya lagi, kawasan situs tambang batubara ombilin tersebut terus dilestarikan dengan menggelar berbagai rangkaian acara pelestarian dengan memadukan dengan budaya setempat sehingga eksistensi kejayaan situs tambang batubara ombilin di zaman dahulu dapat selalu dikenal oleh generasi mendatang.
Tidak ada komentar: